Negeri Para Penonton

Posted by


Suzuki Stadium, Sriracha
Malam itu stadion kebanggaan sebuah bangsa yang selalu mengaku bahwa bangsanya besar itu bergemuruh, diiringi teriakan, suka cita, semangat, dan keyakinan. Malam itu, bangsa dengan modal 240an juta kepala manusia itu sangat percaya paceklik gelar itu akan berakhir. Ya, bangsa itu adalah bangsaku, dan juga bangsamu. Bangsa yang selalu membuat saya habis pikir, untuk pertandingan timnas U-23 sebuah turnamen regional saja mereka rela berpanas hujan demi memperoleh tiket. Bangsa yang terus membuat saya habis pikir, karena dengan kecintaan yang besar terhadap bola kaki dan bakat yang berlimpah, bahkan terus menerus takluk atas negeri jiran yang hanya bermodalkan penduduk 1/9 kalinya dari bangsa ini.

Sepakbola memang bukan berbicara kuantitas. Pernah anda mendengar nama China di peta sepakbola dunia, selain lolos ke Piala Dunia 2002 namun belum pernah mencetak gol sepanjang sejarah pagelaran akbar dunia tersebut. Apakah anda juga menyangka, negara Slovenia yang hanya bermodalkan manusia sebanyak 2,05 juta sudah menikmati teriakan dukungan kepada 11 pasukan di tengah padang di dua piala dunia. Slovenia mungkin hanya seluas Jawa Barat, dengan liga utama hanya berjumlah 10 klub. Namun saya yakin mereka tidak mendapatkan 11 pemain di lapangan itu jatuh dari langit. Ada sistem sepakbola yang rapih di negara pecahan Yugoslavia tersebut.

Jerman adalah pemimpin utama sepakbola dunia bila dilihat dari jumlah penonton. Data menunjukkan bahwa sepanjang musim lalu, rata-rata pertandingan Budesliga dihadiri 42,000. Namun jumlah tersebut berbanding lurus dengan prestasi dan kualitas. Di asia, liga sepakbola masih belum semeriah eropa. Jepang misalnya, setelah mencapai rata-rata penonton sebanyak 17,000 musim lalu, di musim ini jumlah tersebut turun menjadi hanya 15,000 penonton. Jumlah tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan K-League  (11,600) apalagi dengan liga terbaik asean saat ini, Thai Premier League(4,600).

Data statistik itu tentu sulit bila dibandingkan dengan Indonesia, karena sejauh ini informasi tentang jumlah penonton masih sangat terbatas. Namun saya bisa mengatakan bahwa negeri ini adalah bangsa yang “gila” dengan sepakbola. Di sini, liga Inggris, liga Spanyol, liga Italia, liga Champions Eropa, Europa League, AFC Champions League, AFC Cup, FIFA Club World Cup, bahkan Piala Eropa dan Piala Dunia bisa dengan gratis silih berganti mewarnai hidup bangsa ini. Belum lagi liga lokal yang tidak seperti liga sepakbola dunia pada umumnya, ada dua liga, ISL dan IPL. Namun, apakah bisa kita mentransformasi sepakbola eropa atau dunia yang menjadi “sesuatu” bagi sepakbola kita?

Penonton adalah konsumen dalam sepakbola. Baik mereka yang secara rutin mendatangi stadion atau hanya menjadi penikmat di layar kata merupakan sumber pemasukan bagi klub. Di Jepang dan Thailand sejauh yang saya ketahui, sepakbola lokal saja bukan merupakan tayangan gratis, apalagi sepakbola luar. Untuk menyaksikan partai-partai utama di Thai Premier League, setidaknya mereka harus berlangganan true channel. Begitupun di Jepang yang di televisi sederhana di kamar saya hanya berisi berita, kuis, dan talkshow. Namun dengan terbatasnya kesempatan bagi bangsa di dua negara itu untuk menikmati tayangan sepakbola gratis, mereka bisa mentransformasikan apa yang mereka lihat di layar kaca bagi sepakbola negerinya.

Thailand terkenal sebagai negara penggila liga primer Inggris. Bila anda melihat beberapa stadion di sana, bentuknya boleh dibilang “Inggris banget”.  Klub papan bawah seperti Sriracha FC, dengan rata-rata penonton hanya 2000 per game, mereka bisa mengelola segala sumber daya yang ada dan mampu terus berdiri sebagai klub profesional murni, salah satunya dengan menjual nama stadion pada pabrikan otomotif asal Jepang, Suzuki, seperti halnya yang dilakukan oleh Muangthong (Yamaha Stadium), Buriram PEA (i-mobile Stadium, Bangkok Glass (Leo Beer Stadium), dan Chiangrai (Thaicom Stadium). Profesionalisme liga juga terus meningkat, terbukti koefisien AFC mereka hampir 200 poin lebih tinggi dari Indonesia. Di belahan lain, Jepang, adalah penggila sepakbola Brazil. Hampir semua klub selalu memiliki pemain asal Brazil. Skill mereka juga mumpuni dan mampu ditransfer pada pemain muda di Jepang. Negeri yang 30an tahun lalu berstatus penonton itu pun, lambat laun berubah menjadi pemeran figuran, dan kini telah mulai berperan menjadi pemeran utama.

Dengan limpahan rahmat berupa tayangan sepakbola dalam dan luar negeri ini, sepakbola kita masih saja amburadul. Ini semua tidak lepas dari kenyataan bahwa negeri ini adalah negeri para penonton. Gairah kita akan sepakbola tidak cukup sebagai modal mencapai prestasi. Mengurus Sepakbola tak semudah menonton dan menganalisa bagaimana jalannya pertandingan. Pemahaman organisasi mapan yang rumit ini tak bisa dipelajari dengan hanya dengan modal paham luar kepala liga-liga besar di Eropa misalnya, tapi lebih jauh dari itu butuh pengertian bahwa federasi di Indonesia itu sebenarnya hanya bagian kecil dari organisasi-organisasi induk lainnya. Organisasi itupun harus mampu memiliki visi terdepan yang baik dan diaplikasikan dengan terus menerus tak peduli siapa yang berkuasa.
Dengan menonton sepakbola eropa, banyak negara terus mengembangkan sepakbola negerinya untu mengejar ketertinggalan. Namun dengan menonton sepakbola eropa, banyak diantara kita yang berkelahi hanya karena tim kesayangaannya diledek :-(

http://www.kompasiana.com/yas12




Blog, Updated at: Rabu, Maret 21, 2012

0 comments:

Posting Komentar

Komentar Anda mencerminkan pribadi Anda..